Baik tauhid maupun kemusyrikan ada tingkatan dan tahapannya
masing-masing. Sebelum kita melewati semua tahap dalam tauhid, kita
belum dapat menjadi pengikut atau ahli tauhid (muwahhid) yang sejati.
Tauhid Zat Allah
Yang dimaksud dengan tauhid (keesaan) Zat Allah adalah, bahwa Allah
Esa dalam Zat-Nya. Kesan pertama tentang Allah pada kita adalah, kesan
bahwa Dia berdikari. Dia adalah Wujud yang tidak bergantung pada apa dan
siapa pun dalam bentuk apa pun. Dalam bahasa Al-Qur’an, Dia adalah
Ghani (Absolut). Segala sesuatu bergantung pada-Nya dan membutuhkan
pertolongan-Nya. Dia tidak membutuhkan segala sesuatu. Allah berfirman:
Hai manusia, kamulah yang membutuhkan Allah. Dan Allah, Dialah Yang
Maha Kaya (tidak membutuhkan apa pun) lagi Maha Terpuji. (QS. Fâthir:
15)
Kaum filosof menggambarkan Allah sebagai eksis sendiri, atau sebagai
wujud yang eksistensinya wajib. Kesan kedua tentang Allah pada setiap
orang adalah, bahwa Allah adalah Pencipta. Dialah Pencipta dan sumber
final dari segala yang ada. Segala sesuatu adalah “dari-Nya”. Dia bukan
dari apa pun dan bukan dari siapa pun. Menurut bahasa filsafat, Dia
adalah “Sebab Pertama”.
Inilah konsepsi pertama setiap orang tentang Allah. Setiap orang
berpikir tentang Allah. Dan ketika berpikir tentang Allah, dalam
benaknya ada konsepsi ini. Kemudian dia melihat apakah sebenarnya ada
suatu kebenaran, kebenaran yang tidak bergantung pada kebenaran lain,
dan yang menjadi sumber dari segala kebenaran.
Arti dari Tauhid Zat Allah adalah bahwa kebenaran ini hanya satu, dan tak ada yang menyerupai-Nya. Al-Qur’an memfirmankan:
Tak ada yang menyamai-Nya. (QS. asy-Syûrâ: 11)
Dan tak ada yang menyamai-Nya. (QS. al-Ikhlâsh: 4)
Kaidah bahwa sesuatu yang ada selalu menjadi bagian dari spesies,
hanya berlaku pada ciptaan atau makhluk saja. Misal, jika sesuatu itu
bagian dari spesies manusia, maka dapat dibayangkan bahwa sesuatu itu
adalah anggota dari spesies manusia ini. Namun untuk Wujud Yang Ada
Sendiri, kita tidak dapat membayangkan seperti itu. Dia berada di luar
semua pikiran seperti itu. Karena kebenaran yang ada Sendiri itu satu,
maka sumber dan tujuan alam semesta hanya satu. Alam semesta bukanlah
berasal dari berbagai sumber, juga tidak akan kembali ke berbagai
sumber. Alam semesta berasal dari satu sumber dan satu kebenaran. Allah
berfirman:
Katakanlah: “Allah adalah Pencipta segalanya.” (QS. ar-Ra’d: 16)
Segala sesuatu akan kembali ke sumber yang satu dan kebenaran yang satu. Kata Al-Qur’an,
Ingatlah bahwa kepada Allah lah kembali segala sesuatu. (QS. asy-Syûrâ: 53)
Dengan kata lain, alam semesta memiliki satu pusat, satu kutub dan
satu orbit. Hubungan antara Allah dan alam semesta adalah hubungan
Pencipta dan makhluk, yaitu hubungan sebab dan akibat, bukan jenis
hubungan antara sinar dan lampu, atau antara kesadaran manusia dan
manusia. Betul bahwa Allah tidak terpisah dari alam semesta. Dia bersama
segala sesuatu. Al-Qur’an memfirmankan:
Dia bersamamu di mana pun kamu berada. (QS. al-Hadîd: 4)
Namun demikian, ketidakterpisahan Allah dari alam semesta tidaklah
berarti bahwa Dia bagi alam semesta adalah seperti sinar bagi lampu atau
seperti kesadaran bagi tubuh. Kalau demikian halnya, maka Allah
merupakan efek dari alam semesta, bukan sebab dari alam semesta, karena
sinar adalah efek dari lampu. Begitu pula, ketidakterpisahan Allah dari
alam semesta tidaklah berarti bahwa Allah, alam semesta dan manusia
memiliki orientasi yang sama, dan semuanya eksis dengan kehendak dan
semangat yang sama. Semua ini adalah sifat makhluk yang adanya karena
sesuatu yang lain. Allah bebas dari semua itu. Al-Qur’an memfirmankan:
Mahasuti Tuhanmu yang mempunyai keperkasaan dari apa yang mereka katakan. (QS. ash-Shâffât: 180)
Tauhid dalam Sif at-sif at Allah
Tauhid Sifat-sifat Allah artinya adalah mengakui bahwa Zat dan
Sifat-sifat Allah identik, dan bahwa berbagai Sifat-Nya tidak terpisah
satu sama lain. Tauhid Zat artinya adalah menafikan adanya apa pun yang
seperti Allah, dan Tauhid Sifat-sifat-Nya artinya adalah menafikan
adanya pluralitas di dalam Zat-Nya. Allah memiliki segala sifat yang
menunjukkan kesempurnaan, keperkasaan dan ke-indahan, namun dalam
Sifat-sifat-Nya tak ada segi yang benar-benar terpisah dari-Nya.
Keterpisahan zat dari sifat-sifat dan keterpisahan sifat-sifat dari satu
sama lain merupakan ciri khas keterbatasan eksistensi, dan tak mungkin
terjadi pada eksistensi yang tak terbatas. Pluralitas, perpaduan dan
keterpisahan zat dan sifat-sifat tak mungkin terjadi pada Wujud Mutlak.
Seperti Tauhid Zat Allah, Tauhid Sifat-sifat Allah merupakan doktrin
Islam dan salah satu gagasan manusiawi yang paling bernilai, yang
semata-mata mengkristal dalam mazhab Syiah. Di sini kami kutipkan sebuah
kalimat dalam khotbah pertama “Nahj al-Balâghah”[1] yang membenarkan sekaligus menjelaskan gagasan ini:
“Segala puji bagi Allah. Tak ada ahli pidato atau ahli bicara pun
yang dapat memuji-Nya dengan memadai. Rahmat dan berkah-Nya tak dapat
dihitung oleh ahli hitung sekalipun. Yang paling per-hatian sekalipun
tak dapat menyembah-Nya dengan semestinya. Dia tak dapat di mengerti
sepenuhnya, sekalipun diupayakan. Dia tak dapat dicapai oleh kecerdasan,
sekalipun luar biasa kecerdasan tersebut Sifat-sifat-Nya tak dibatasi
oleh pembatas apa pun. Tak ada kata yang dapat menggambarkan-Nya dengan
utuh.”
Seperti kita tahu, dalam kalimat di atas digarisbawahi
ketakterbatasan Sifat-sifat Allah. Dalam khotbah itu juga, setelah
beberapa kalimat, Imam All bin Abi Thalib as berkata:
“Sebenar-benar ketaatan kepada-Nya artinya adalah menafikan pengaitan
sifat-sifat kepada-Nya, karena pihak yang dikaiti sifat menunjukkan
bahwa pihak tersebut beda dengan sifat yang dikaitkan kepada-Nya, dan
setiap sifat-Nya menunjukkan bahwa sifat tersebut beda dengan pihak yang
dikaitkan sifat tersebut. Barangsiapa mengaitkan sifat kepada Allah,
berarti dia menyamakan-Nya (dengan sesuatu), dan barangsiapa
menyamakan-Nya.” (Lihat Nahj al-Balâghah, khotbah 1, hal. 137. ISP.
1984)
Dalam kalimat pertama ditegaskan bahwa Allah memiliki Sifat-sifat
(yang Sifat-sifat-Nya tak dibatasi oleh batas-batas). Dalam kalimat
kedua juga ditegaskan bahwa Dia memiliki Sifat-sifat, namun
diperintahkan untuk tidak mengaitkan sifat-sifat kepada-Nya. Redaksi
kalimat-kalimat ini menunjukkan bahwa Sifat-sifat yang dimiliki-Nya tak
terbatas seperti halnya ketakterbatasan diri-Nya sendiri, bahwa
Sifat-sifat yang dimiliki-Nya identik dengan Zat-Nya, dan sifat-sifat
yang tak dimiliki-Nya adalah sifat-sifat yang terbatas dan terpisah dari
Zat-Nya dan terpisah satu sama lain. Dengan demikian, Tauhid dalam
Sifat-sifat Allah artinya adalah mengakui bahwa Zat Allah dan
Sifat-sifat-Nya adalah satu.
Tauhid dalam Perbuatan Allah
Arti Tauhid dalam perbuatan-Nya adalah mengakui bahwa alam semesta
dengan segenap sistemnya, jalannya, sebab dan akibatnya, merupakan
perbuatan Allah saja, dan terwujud karena kehendak-Nya. Di alam semesta
ini tak satu pun yang ada sendiri. Segala sesuatu bergantung pada-Nya.
Dalam bahasa Al-Qur’an, Dia adalah pemelihara alam semesta. Dalam hal
sebab-akibat, segala yang ada di alam semesta ini bergantung. Maka dari
itu, Allah tidak memiliki sekutu dalam Zat-Nya, Dia juga tak memiliki
sekutu dalam perbuatan-Nya. Setiap perantara dan sebab ada dan bekerja
berkat Allah dan bergantung pada-Nya. Milik-Nya sajalah segala kekuatan
maupun kemampuan untuk berbuat.
Manusia merupakan satu di antara makhluk yang ada, dan karena itu
merupakan ciptaan Allah. Seperti makhluk lainnya, manusia dapat
melakukan pekerjaannya sendiri, dan tidak seperti makhluk lainnya,
manusia adalah penentu nasibnya sendiri. Namun Allah sama sekali tidak
mendelegasikan Kuasa-kuasa-Nya kepada manusia. Karena itu manusia tidak
dapat bertindak dan berpikir semaunya sendiri, “Dengan kuasa Allah aku
berdiri dan duduk. “
Percaya bahwa makhluk, baik manusia maupun makhluk lainnya, dapat
berbuat semaunya sendiri, berarti percaya bahwa makhluk tersebut dan
Allah sama-sama mandiri dalam berbuat. Karena mandiri dalam berbuat
berarti mandiri dalam zat, maka kepercayaan tersebut bertentangan dengan
keesaan Zat Allah (Tauhid dalam Zat — pen.), lantas apa yang harus
dikatakan mengenai keesaan perbuatan Allah (Tauhid dalam Perbuatan —
pen.).
Dan katakanlah, “Segala puji bagi Allah yang tidak mempunyai anak dan
tidak mempunyai sekutu dalam kerajaan-Nya dan tidak mempunyai penolong
(untuk menjaga-Nya) dan kehinaan. Karma itu, agungkanlah Dia dengan
pengagungan yang sebesar-besarnya. (QS. al-Isrâ’: 111)
Tauhid dalam Ibadah
Tiga tingkatan Tauhid yang dipaparkan di atas sifatnya teoretis dan
merupakan masalah iman. Ketiganya harus diketahui dan diterima. Namun
Tauhid dalam ibadah merupakan masalah praktis, merupakan bentuk
“menjadi”. Tingkatan-tingkatan tauhid di atas melibatkan pemikiran yang
benar. Tingkat keempat ini merupakan tahap menjadi benar. Tahap teoretis
tauhid, artinya adalah memiliki pandangan yang sempurna. Tahap
praktisnya artinya adalah berupaya mencapai kesempurnaan. Tauhid
teoretis artinya adalah memahami keesaan Allah, sedangkan tauhid praktis
artinya adalah menjadi satu. Tauhid teoretis adalah tahap melihat,
sedangkan tauhid praktis adalah tahap berbuat. Sebelum menjelaskan lebih
lanjut tentang tauhid praktis, perlu disebutkan satu masalah lagi
mengenai tauhid teoretis. Masalahnya adalah apakah mungkin mengetahui
Allah sekaligus dengan keesaan Zat-Nya, keesaan Sifat-sifat-Nya dan
keesaan perbuatan-Nya, dan jika mungkin, apakah pengetahuan seperti itu
membantu manusia untuk hidup sejahtera dan bahagia; atau dan berbagai
tingkat dan tahap tauhid, hanya tauhid praktis saja yang bermanfaat.
Sejauh menyangkut kemungkinan mendapat pengetahuan seperti itu, sudah
kami bahas dalam buku kami “Prinsip-prinsip Filsafat dan Metode
Realisme”. Apakah pengetahuan seperti itu bermanfaat atau justru
sebaliknya, itu tergantung pada konsepsi kita sendiri mengenai manusia,
kesejahteraan dan kebahagiaannya. Gelombang pemikiran materialistis di
zaman modern ini bahkan menyebabkan kaum yang beriman kepada Allah
menganggap tak banyak manfaatnya masalah-masalah yang berkaitan dengan
pengetahuan tentang Allah. Mereka memandang masalah-masalah seperti itu
sebagai semacam manuver mental dan pelarian dari problem-problem praktis
kehidupan. Namun seorang Muslim yang percaya bahwa realitas manusia
bukanlah realitas jasmaninya saja, namun realitas sejati manusia adalah
realitas spiritualnya dan bahwa hakikat roh manusiawi adalah hakikat
pengetahuan dan kesuciannya, tahu betul bahwa apa yang disebut sebagai
tauhid teoretis itu sendiri, selain merupakan dasar dari tauhid praktis,
merupakan kesempumaan psikologis yang paling tinggi tingkatannya.
Tauhid ini mengangkat manusia, membawa manusia menuju Kebenaran Ilahiah,
dan membuat manusia menjadi sempurna. Allah SWT berfirman:
Kepada-Nya naik kata-kata yang baik, dan amal saleh dinaikkan-Nya. (QS. Fâthir: 10)
Sisi manusiawi manusia ditentukan oleh pengetahuannya tentang Allah.
Pengetahuan manusia bukanlah sesuatu yang terpisah dari manusia itu
sendiri. Semakin tahu manusia itu tentang alam semesta, sistemnya dan
asal-usulnya, semakin berkembang sisi manusiawi manusia tersebut, yang
lima puluh persen substansi sisi manusiawi itu berupa pengetahuan. Dari
sudut pandang Islam, khususnya ajaran Syiah, tak ada keraguan sedikit
pun bahwa tujuan sisi manusiawi itu sendiri adalah mengetahui tentang
Allah, tak soal dengan efek praktis dan sosialnya.
Sekarang kita bahas masalah tauhid praktis. Tauhid praktis atau
tauhid ibadah, artinya adalah hanya menyembah atau beribadah kepada
Allah saja. Dengan kata lain, tulus ikhlas dalam beribadah kepada Allah.
Kemudian akan kami jelaskan bahwa dari sudut pandang Islam, ibadah ada
tingkatan-tingkatannya. Tingkatannya yang sangat jelas adalah menunaikan
ritus-ritus yang berkaitan dengan penyucian dan pengagungan Allah.
Kalau ritus-ritus seperti itu dilakukan untuk selain Allah, artinya
adalah keluar total dari Islam. Namun demikian, dari sudut pandang
Islam, ibadah bukan hanya tingkatan yang ini saja. Setiap bentuk
orientasi spiritual dan menerima sesuatu sebagai ideal spiritual, maka
hal itu tergolong ibadah. Al-Qur’an memfirmankan:
Terangkanlah kepadaku tentang orang yang menjadikan hawa nafsunya sebagai Tuhannya. (QS. al-Furqân: 43)
Kalau kita menaati seseorang yang telah dilarang Allah untuk ditaati,
dan tunduk patuh sepenuhnya kepadanya, berarti kita menyembah atau
beribadah kepada orang itu. Al-Qur’an mengatakan,
Mereka menjadikan para rabbi dan rahib mereka sebagai Tuhan selain Allah. (QS. at-Taubah: 31)
Dan tidak pula sebagian kita menjadikan sebagian yang lain sebagai Tuhan selain Allah. (QS. Âli ‘Imrân: 64)
Dengan demikian tauhid praktis atau tauhid ibadah, artinya adalah
menerima Allah saja sebagai yang layak untuk ditaati tanpa pamrih,
memandang hanya Dia saja yang menjadi ideal dan arah perilaku, dan
menolak selain-Nya serta menganggap selain-Nya tidak layak ditaati tanpa
pamrih, atau tidak layak untuk dijadikan ideal. Tauhid ibadah artinya
adalah tunduk kepada Allah saja, bangkit untuk-Nya saja, dan hidup
untuk-Nya saja, serta mati untuk-Nya saja.
(Nabi Ibrahim berkata): “Sesungguhnya aku menghadapkan diriku kepada
Tuhan yang mendptakan langit dan bumi dengan cenderung kepada agama yang
benar, dan aku bukanlah termasuk orang yang mempersekutukan Tuhan”…
Katakanlah, “Sesungguhnya sembahyangku, ibadahku, hidupku dan matiku
hanyalah untuk Allah, Tuhan semesta alam. Tiada sekutu bagi-Nya. Dan
demikian itulah yang diperintahkan kepadaku, dan aku adalah orang yang
pertama tunduk patuh kepada-Nya.” (QS. al-An’am: 79, 162-163)
Tauhid Nabi Ibrahim ini merupakan Tauhid praktis atau Tauhid ibadah.
Inilah yang divisualisasikan oleh iman ini: “La ilaha illallah” (tiada
Tuhan selain Allah).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar