Filosofi Dewa Ruci
Kiranya perlu dipahami bahwa tujuan
hakiki dari kejawen adalah berusaha mendapatkan ilmu sejati untuk mencapai
hidup sejati, dan berada dalam keadaan harmonis hubungan antara kawula
(manusia)dan Gusti (Pencipta) (manunggaling kawula Gusti )/ pendekatan kepada
Yang Maha Kuasa secara total.
Keadaan spiritual ini bisa dicapai oleh
setiap orang yang percaya kepada Sang Pencipta, yang mempunyai moral yang baik,
bersih dan jujur. beberapa laku harus dipraktekkan dengan kesadaran dan
ketetapan hati yang mantap.Pencari dan penghayat ilmu sejati diwajibkan untuk
melakukan sesuatu yang berguna bagi semua orang serta melalui kebersihan hati
dan tindakannya. Cipta, rasa, karsa dan karya harus baik, benar, suci dan
ditujukan untuk mamayu hayuning bawono. Kejawen merupakan aset dari orang Jawa
tradisional yang berusaha memahami dan mencari makna dan hakekat hidup yang
mengandung nilai-nilai spiritual yang tinggi.
Tindakan tersebut dibagi tiga bagian
yaitu tindakan simbolis dalam religi, tindakan simbolis dalam tradisi dan tindakan
simbolis dalam seni. Tindakan simbolis dalam religi, adalah contoh kebiasaan
orang Jawa yang percaya bahwa Tuhan adalah zat yang tidak mampu dijangkau oleh
pikiran manusia, karenanya harus di simbolkan agar dapat di akui keberadaannya
misalnya dengan menyebut Tuhan dengan Gusti Ingkang Murbheng Dumadi, Gusti
Ingkang Maha Kuaos, dan sebagainya. Tindakan simbolis dalam tradisi dimisalkan
dengan adanya tradisi upacara kematian yaitu medoakan orang yang meninggal pada
tiga hari, tujuh hari, empatpuluh hari, seratus hari, satu tahun, dua tahun
,tiga tahun, dan seribu harinya setelah seseorang meninggal ( tahlilan ). Dan
tindakan simbolis dalam seni dicontohkan dengan berbagai macam warna yang
terlukis pada wajah wayang kulit; warna ini menggambarkan karakter dari
masing-masing tokoh dalam wayang.
Perkembangan budaya jawa yang mulai
tergilas oleh perkembangan teknologi yang mempengaruhi pola pikir dan tindakan
orang jawa dalam kehidupan. Maka orang mulai berfikir bagaimana bisa
membuktikan hal gaib secara empiris tersebut dengan menggunakan berbagai macam
metode tanpa mengindahkan unsur kesakralan. Bahkan terkadang kepercayaan itu
kehilangan unsur kesakralannya karena dijadikan sebagai obyek exploitasi dan
penelitian.
Kebiasaan orang Jawa yang percaya bahwa
segala sesuatu adalah simbol dari hakikat kehidupan, seperti syarat sebuah
rumah harus memiliki empat buah soko guru (tiang penyangga) yang melambangkan
empat unsur alam yaitu tanah, air, api, dan udara, yang ke empatnya dipercaya
akan memperkuat rumah baik secara fisik dan mental penghuni rumah tersebut.
Namun dengan adanya teknologi konstruksi yang semakin maju, keberadaan soko
guru itu tidak lagi menjadi syarat pembangunan rumah.Dengan analisa tersebut
dapat diperkirakan bagaimana nantinya faham simbolisme akan bergeser dari
budaya jawa. Tapi bahwa simbolisme tidak akan terpengaruh oleh kehidupan
manusia tapi kehidupan manusialah yang tergantung pada simbolisme. Dan sampai
kapanpun simbolisme akan terus berkembang mengikuti berputarnya cakra
panggilingan.
Orang Jawa menganggap cerita wayang
merupakan cermin dari pada kehidupannya.
Dewa Ruci yang merupakan cerita asli
wayang Jawa memberikan gambaran yang jelas mengenai hubungan harmonis antara
Kawula dan Gusti, yang diperagakan oleh Bima atau Aria Werkudara dan Dewa
Ruci.Dalam bentuk kakawin (tembang) oleh Pujangga Surakarta,Yosodipuro
berjudul:”Serat Dewaruci Kidung” yang disampaikan dalam bentuk macapat,
berbahasa halus dan sesuai rumus-rumus tembang, dengan bahasa Kawi, Sanskerta
dan Jawa Kuna.
Intisari cerita tersebut yaitu bahwa
pihak kaum Kurawa dengan dinegeri Amarta, ingin menjerumuskan pihak Pandawa
dinegeri Astina,(yang sebenarnya adalah:bersaudara) ke dalam kesengsaraan,
melalui perantaraan guru Durna. Sena yang juga adalah murid guru Durno diberikan
ajaran: bahwa dalam mencapai kesempurnaan demi kesucian badan ,Sena diharuskan
mengikuti perintah sang Guru untuk mencari air suci penghidupan ke hutan
Tibrasara. Sena mengikuti perintah gurunya dan yakin tidak mungkin teritipu dan
terbunuh oleh anjuran Gurunya, dan tetap berniat pergi mengikuti perintah sang
Guru,walaupun sebenarnya ada niat sang Guru Durno untuk
mencelakaannya.Diceritakan Pada saat di negeri Amarta ,Prabu Suyudana/raja
Mandaraka/prabu Salya sedang rapat membahas bagaimana caranya Pandawa dapat
ditipu secara halus agar musnah, sebelum terjadinya perang Baratayuda, bersama
dengan Resi Druna, Adipati Karna, Raden Suwirya, Raden Jayasusena, Raden
Rikadurjaya, Adipati dari Sindusena, Jayajatra, Patih Sengkuni, Bisma,
Dursasana, dan lain-lainnya termasuk para sentana/pembesar andalan lainnya.
Kemudian Durna memberi petunjuk kepada Sena, bahwa jika ia
telah menemukan air suci itu ,maka akan berarti dirinya mencapai kesempurnaan,
menonjol diantara sesama makhluk,dilindungi ayah-ibu, mulia, berada dalam
triloka,akan hidup kekal adanya. Selanjutnya dikatakan, bahwa letak air suci
ada di hutan Tibrasara, dibawah Gandawedana, di gunung Candramuka, di dalam
gua. Kemudian setelah ia mohon pamit kepada Druna dan prabu Suyudana, lalu
keluar dari istana, untuk mohon pamit, mereka semua tersenyum, membayangkan
Sena berhasil ditipu dan akan hancur lebur melawan dua raksasa yang tinggal di
gua itu, sebagai rasa optimisnya ,untuk sementara merekamerayakan dengan
bersuka-ria, pesta makan minum sepuas-puasnya.
Setelah sampai di gua gunung Candramuka, air yang dicari
ternyata tidak ada, lalu gua disekitarnya diobrak-abrik. Raksasa Rukmuka dan
Rukmakala yang berada di gua terkejut, marah dan mendatangi Sena. Namun walau
telah dijelaskan niat kedatangannya, kedua raksasa itu karena merasa terganggu
akibat ulah Sena, tetap saja mengamuk. Terjadi perkelahian …….Namun dalam
perkelahian dua Raksaksa tersebut kalah, ditendang, dibanting ke atas batu dan
meledak hancur lebur. Kemudian Sena mengamuk dan mengobrak-abrik lagi sampai
lelah,dalam hatinya ia bersedih hati dan berfikir bagaimana mendapatkan air
suci tersebut.Karena kelelahan,kemudian ia berdiri dibawah pohon beringin.
Setibanya di serambi Astina, saat lengkap dihadiri Resi
Druna, Bisma, Suyudana, Patih Sangkuni, Sindukala, Surangkala, Kuwirya
Rikadurjaya, Jayasusena, lengkap bala Kurawa, dan lain-lainnya, terkejut….!
atas kedatangan Sena. Ia memberi laporan tentang perjalannya dan dijawab oleh
Sang Druna :bahwa ia sebenarnya hanya diuji, sebab tempat air yang dicari,
sebenarnya ada di tengah samudera. Suyudana juga membantu bicara untuk
meyakinkan Sena.
Karena tekad yang kuat maka Senapun nekat untuk pergi lagi….., yang sebelumnya
ia sempat mampir dahulu ke Ngamarta.(tempat para kerabatnya berada) Sementara itu
di Astina keluarga Sena yang mengetahui tipudaya pihak Kurawa mengirim surat
kepada prabu Harimurti/Kresna di Dwarawati, yang dengan tergesa-gesa bersama
bala pasukan datang ke Ngamarta.
Setelah menerima penjelasan dari Darmaputra, Kresna
mengatakan bahwa janganlah Pandawa bersedih, sebab tipu daya para Kurawa akan
mendapat balasan dengan jatuhnya bencana dari dewata yang agung. Ketika sedang
asyik berbincang-bincang, datanglah Sena, yang membuat para Pandawa termasuk
Pancawala, Sumbadra, Retna Drupadi dan Srikandi, dan lain-lainnya, senang dan
akan mengadakan pesta. Namun tidak disangka, karena Sena ternyata melaporkan
bahwa ia akan meneruskan pencarian air suci itu, yaitu ke tengah samudera.
Nasehat dan tangisan, termasuk tangisan semua sentana laki-laki dan perempuan,
tidak membuatnya mundur.
Sena berangkat pergi, tanpa rasa takut keluar masuk hutan,
naik turun gunung, yang akhirnya tiba di tepi laut. Sang ombak bergulung-gulung
menggempur batu karang bagaikan menyambut dan tampak kasihan kepada yang baru
datang, bahwa ia di tipu agar masuk ke dalam samudera, topan datang juga riuh
menggelegar, seakan mengatakan bahwa Druna memberi petunjuk sesat dan tidak
benar.
Bagi Sena, lebih baik mati dari pada pulang menentang sang
Maharesi, walaupun ia tidak mampu masuk ke dalam air, ke dasar samudera. Maka
akhirnya ia berpasrah diri, tidak merasa takut, sakit dan mati memang sudah
kehendak dewata yang agung, karena sudah menyatakan kesanggupan kepada Druna
dan prabu Kurupati, dalam mencari Tirta Kamandanu, masuk ke dalam samudera.
Dengan suka cita ia lama memandang laut dan keindahan isi
laut, kesedihan sudah terkikis, menerawang tanpa batas, lalu ia memusatkan
perhatian tanpa memikirkan marabahaya, dengan semangat yang menyala-nyala
mencebur ke laut, tampak kegembiraannya, dan tak lupa digunakannya ilmu
Jalasengara, agar air menyibak.
Alkisah ada naga sebesar segara anakan, pemangsa ikan di laut, wajah liar dan
ganas, berbisa sangat mematikan, mulut bagai gua, taring tajam bercahaya,
melilit Sena sampai hanya tertinggal lehernya, menyemburkan bisa bagai air
hujan. Sena bingung dan mengira cepat mati, tapi saat lelah tak kuasa meronta,
ia teringat segera menikamkan kukunya, kuku Pancanaka, menancap di badan naga,
darah memancar deras, naga besar itu mati, seisi laut bergembira.
Sementara itu Pandawa bersedih hati dan menangis memohon
penuh iba, kepada prabu Kresna. Lalu dikatakan oleh Kresna, bahwa Sena tidak
akan meninggal dunia, bahkan mendapatkan pahala dari dewata yang nanti akan
datang dengan kesucian, memperoleh cinta kemuliaan dari Hyang Suksma Kawekas,
diijinkan berganti diri menjadi batara yang berhasil menatap dengan hening.
Para saudaranya tidak perlu sedih dan cemas.
Kembali dikisahkan Sang Wrekudara yang masih di samudera, ia
bertemu dengan dewa berambut panjang, seperti anak kecil bermain-main di atas
laut, bernama Dewa Ruci. Lalu ia berbicara :”Sena apa kerjamu, apa tujuanmu,
tinggal di laut, semua serba tidak ada tak ada yang dapat di makan, tidak ada
makanan, dan tidak ada pakaian. Hanya ada daun kering yang tertiup angin, jatuh
didepanku, itu yang saya makan”. Dikatakan pula :”Wahai Wrekudara, segera
datang ke sini, banyak rintangannya, jika tidak mati-matian tentu tak akan
dapat sampai di tempat ini, segalanya serba sepi. Tidak terang dan pikiranmu memaksa,
dirimu tidak sayang untuk mati, memang benar, disini tidak mungkin ditemukan”.
“Kau pun keturunan Sang Hyang Pramesthi, Hyang Girinata, kau keturunan dari
Sang Hyang Brama asal dari para raja, ayahmu pun keturunan dari Brama,
menyebarkan para raja, ibumu Dewi Kunthi, yang memiliki keturunan, yaitu sang
Hyang Wisnu Murti. Hanya berputra tiga dengan ayahmu, Yudistira sebagai anak
sulung, yang kedua dirimu, sebagai penengah adalah Dananjaya, yang dua anak
lain dari keturunan dengan Madrim, genaplah Pandawa, kedatanganmu disini pun
juga atas petunjuk Dhang Hyang Druna untuk mencari air Penghidupan berupa air
jernih, karena gurumu yang memberi petunjuk, itulah yang kau laksanakan, maka
orang yang bertapa sulit menikmati hidupnya”, lanjut Dewa Ruci.
Kemudian dikatakan :”Jangan pergi bila belum jelas maksudnya,
jangan makan bila belum tahu rasa yang dimakan, janganlah berpakaian bila belum
tahu nama pakaianmu. Kau bisa tahu dari bertanya, dan dengan meniru juga, jadi
dengan dilaksanakan, demikian dalam hidup, ada orang bodoh dari gunung akan
membeli emas, oleh tukang emas diberi kertas kuning dikira emas mulia. Demikian
pula orang berguru, bila belum paham, akan tempat yang harus disembah”.
Wrekudara masuk tubuh Dewa Ruci menerima ajaran tentang Kenyataan “Segeralah
kemari Wrekudara, masuklah ke dalam tubuhku”, kata Dewa Ruci. Sambil tertawa
sena bertanya :”Tuan ini bertubuh kecil, saya bertubuh besar, dari mana jalanku
masuk, kelingking pun tidak mungkin masuk”.Dewa Ruci tersenyum dan berkata
lirih:”besar mana dirimu dengan dunia ini, semua isi dunia, hutan dengan
gunung, samudera dengan semua isinya, tak sarat masuk ke dalam tubuhku”.
Atas petunjuk Dewa Ruci, Sena masuk ke dalam tubuhnya melalui
telinga kiri. Dan tampaklah laut luas tanpa tepi, langit luas, tak tahu mana
utara dan selatan, tidak tahu timur dan barat, bawah dan atas, depan dan
belakang. Kemudian, terang, tampaklah Dewa Ruci, memancarkan sinar, dan
diketahui lah arah, lalu matahari, nyaman rasa hati.
Ada empat macam benda yang tampak oleh Sena, yaitu hitam, merah kuning dan
putih. Lalu berkatalah Dewa Ruci: “Yang pertama kau lihat cahaya, menyala tidak
tahu namanya, Pancamaya itu, sesungguhnya ada di dalam hatimu, yang memimpin
dirimu, maksudnya hati, disebut muka sifat, yang menuntun kepada sifat lebih,
merupakan hakikat sifat itu sendiri. Lekas pulang jangan berjalan, selidikilah
rupa itu jangan ragu, untuk hati tinggal, mata hati itulah, menandai pada
hakikatmu, sedangkan yang berwarna merah, hitam, kuning dan putih, itu adalah
penghalang hati.
Yang hitam kerjanya marah terhadap segala hal, murka, yang
menghalangi dan menutupi tindakan yang baik. Yang merah menunjukkan nafsu yang
baik, segala keinginan keluar dari situ, panas hati, menutupi hati yang sadar
kepada kewaspadaan. Yang kuning hanya suka merusak. Sedangkan yang putih
berarti nyata, hati yang tenang suci tanpa berpikiran ini dan itu, perwira
dalam kedamaian. Sehingga hitam, merah dan kuning adalah penghalang pikiran dan
kehendak yang abadi, persatuan Suksma Mulia.
Lalu Wrekudara melihat, cahaya memancar berkilat, berpelangi
melengkung, bentuk zat yang dicari, apakah gerangan itu ?! Menurut Dewa Ruci,
itu bukan yang dicari (air suci), yang dilihat itu yang tampak berkilat
cahayanya, memancar bernyala-nyala, yang menguasai segala hal, tanpa bentuk dan
tanpa warna, tidak berwujud dan tidak tampak, tanpa tempat tinggal, hanya
terdapat pada orang-orang yang awas, hanya berupa firasat di dunia ini,
dipegang tidak dapat, adalah Pramana, yang menyatu dengan diri tetapi tidak
ikut merasakan gembira dan prihatin, bertempat tinggal di tubuh, tidak ikut
makan dan minum, tidak ikut merasakan sakit dan menderita, jika berpisah dari
tempatnya, raga yang tinggal, badan tanpa daya. Itulah yang mampu merasakan
penderitaannya, dihidupi oleh suksma, ialah yang berhak menikmati hidup,
mengakui rahasia zat.
Kehidupan Pramana dihidupi oleh suksma yang menguasai
segalanya, Pramana bila mati ikut lesu, namun bila hilang, kehidupan suksma
ada. Sirna itulah yang ditemui, kehidupan suksma yang sesungguhnya, Pramana Anresandani.
Jika ingin mempelajari dan sudah didapatkan, jangan punya kegemaran,
bersungguh-sungguh dan waspada dalam segala tingkah laku, jangan bicara gaduh,
jangan bicarakan hal ini secara sembunyi-sembunyi, tapi lekaslah mengalah jika
berselisih, jangan memanjakan diri, jangan lekat dengan nafsu kehidupan tapi
kuasailah.
Tentang keinginan untuk mati agar tidak mengantuk dan tidak
lapar, tidak mengalami hambatan dan kesulitan, tidak sakit, hanya enak dan
bermanfaat, peganglah dalam pemusatan pikiran, disimpan dalam buana,
keberadaannya melekat pada diri, menyatu padu dan sudah menjadi kawan akrab.
Sedangkan Suksma Sejati, ada pada diri manusia, tak dapat dipisahkan, tak
berbeda dengan kedatangannya waktu dahulu, menyatu dengan kesejahteraan dunia,
mendapat anugerah yang benar, persatuan manusia/kawula dan pencipta/Gusti.
Manusia bagaikan wayang, Dalang yang memainkan segala gerak gerik dan berkuasa
antara perpaduan kehendak, dunia merupakan panggungnya, layar yang digunakan
untuk memainkan panggungnya.
Penerima ajaran dan nasehat ini tidak boleh menyombongkan
diri, hayati dengan sungguh-sungguh, karena nasehat merupakan benih. Namun jika
ditemui ajaran misalnya kacang kedelai disebar di bebatuan tanpa tanah tentu
tidak akan dapat tumbuh, maka jika manusia bijaksana, tinggalkan dan hilangkan,
agar menjadi jelas penglihatan sukma, rupa dan suara. Hyang Luhur menjadi badan
Sukma Jernih, segala tingkah laku akan menjadi satu, sudah menjadi diri
sendiri, dimana setiap gerak tentu juga merupakan kehendak manusia, terkabul
itu namanya, akan segala keinginan, semua sudah ada pada manusia, semua jagad
ini karena diri manusia, dalam segala janji janganlah ingkar.
Jika sudah paham akan segala tanggung jawab, rahasiakan dan
tutupilah. Yang terbaik, untuk disini dan untuk disana juga, bagaikan mati di
dalam hidup, bagaikan hidup dalam mati, hidup abadi selamanya, yang mati itu
juga. Badan hanya sekedar melaksanakan secara lahir, yaitu yang menuju pada
nafsu.
Wrekudara setelah mendengar perkataan Dewa Ruci, hatinya
terang benderang, menerima dengan suka hati, dalam hati mengharap mendapatkan
anugerah wahyu sesungguhnya. Dan kemudian dikatakan oleh Dewa Ruci :”Sena
ketahuilah olehmu, yang kau kerjakan, tidak ada ilmu yang didatangkan, semua
sudah kau kuasai, tak ada lagi yang dicari, kesaktian, kepandaian dan
keperkasaan, karena kesungguhan hati ialah dalam cara melaksanakan.
Dewa Ruci selesai menyampaikan ajarannya, Wrekudara tidak bingung dan semua
sudah dipahami, lalu kembali ke alam kemanusiaan, gembira hatinya, hilanglah kekalutan
hatinya, dan Dewa Ruci telah sirna dari mata,
Wrekudara lalu mengingat, banyak yang didengarnya tentang tingkah para Pertapa
yang berpikiran salah, mengira sudah benar, akhirnya tak berdaya, dililit oleh
penerapannya, seperti mengharapkan kemuliaan, namun akhirnya tersesat dan
terjerumus.
Bertapa tanpa ilmu, tentu tidak akan berhasil, kematian
seolah dipaksakan, melalui kepertapaannya, mengira dapat mencapai kesempurnaan
dengan cara bertapa tanpa petunjuk, tanpa pedoman berguru, mengosongkanan pikiran,
belum tentu akan mendapatkan petunjuk yang nyata. Tingkah seenaknya, bertapa
dengan merusak tubuh dalam mencapai kamuksan, bahkan gagallah bertapanya itu.
Guru yang benar, mengangkat murid/cantrik, jika memberi
ajaran tidak jauh tempat duduknya, cantrik sebagai sahabatnya, lepas dari pemikiran batinnya,
mengajarkan wahyu yang diperoleh. Inilah keutamaan bagi keduanya.
Tingkah manusia hidup usahakan dapat seperti wayang yang dimainkan di atas
panggung, di balik layar ia digerak-gerakkan, banyak hiasan yang dipasang,
berlampu panggung matahari dan rembulan, dengan layarnya alam yang sepi, yang
melihat adalah pikiran, bumi sebagai tempat berpijak, wayang tegak ditopang
orang yang menyaksikan, gerak dan diamnya dimainkan oleh Dalang, disuarakan
bila harus berkata-kata, bahwa itu dari Dalang yang berada dibalik layar,
bagaikan api dalam kayu, berderit oleh tiupan angin, kayu hangus mengeluarkan
asap, sebentar kemudian mengeluarkan api yang berasal dari kayu, ketahuilah
asal mulanya, semuanya yang tergetar, oleh perlindungan jati manusia, yang yang
kemudian sebagai rahasia.
Kembali ke Negeri Ngamarta
Tekad yang sudah sempurna, dengan penuh semangat, Raden Arya Wrekudara kemudian
pulang dan tiba ke negerinya, Ngamarta, tak berpaling hatinya, tidak asing bagi
dirinya, sewujud dan sejiwa, dalam kenyataan ditutupi dan dirahasiakan,
dilaksanakan untuk memenuhi kesatriaannya. Permulaan jagad raya, kelahiran
batin ini, memang tidak kelihatan, yang bagaikan sudah menyatu, seumpama suatu
bentukan, itulah perjalanannya.
Bersamaan dengan kedatangan Sena, di Ngamarta sedang berkumpul para saudaranya
bersama Sang Prabu Kresna, yang sedang membicarakan kepergian Sena, cara masuk
dasar samudera. Maka disambutlah ia, dan saat ditanya oleh Prabu Yudistira
mengenai perjalanan tugasnya, ia menjawab bahwa perjalanannya itu dicurangi,
ada dewa yang memberi tahu kepadanya, bahwa di lautan itu sepi,tidak ada air
penghidupan. Gembira mendengar itu, lalu Kresna berkata :”Adikku ketahuilah
nanti, jangan lupa segala sesuatu yang sudah terjadi ini”.MAKNA AJARAN DEWA
RUCI
- Pencarian air suci Prawitasari
Guru Durna memberitahukan Bima untuk
menemukan air suci Prawitasari. Prawita dari asal kata Pawita artinya bersih,
suci; sari artinya inti. Jadi Prawitasari pengertiannya adalah inti atau sari
dari pada ilmu suci.
- Hutan Tikbrasara dan Gunung Reksamuka
Air suci itu dikatakan berada dihutan
Tikbrasara, dilereng Gunung Reksamuka. Tikbra artinya rasa prihatin; sara
berarti tajamnya pisau, ini melambangkan pelajaran untuk mencapai lendeping
cipta (tajamnya cipta). Reksa berarti mamalihara atau mengurusi; muka adalah
wajah, jadi yang dimaksud dengan Reksamuka dapat diartikan: mencapai sari ilmu
sejati melalui samadi.
1. Sebelum melakukan samadi orang harus
membersihkan atau menyucikan badan dan jiwanya dengan air.2. Pada waktu samadi
dia harus memusatkan ciptanya dengan fokus pandangan kepada pucuk hidung.
Terminologi mistis yang dipakai adalah mendaki gunung Tursina, Tur berarti
gunung, sina berarti tempat artinya tempat yang tinggi.Pandangan atau paningal
sangat penting pada saat samadi. Seseorang yang mendapatkan restu dzat yang
suci, dia bisa melihat kenyataan antara lain melalui cahaya atau sinar yang
datang kepadanya waktu samadi. Dalam cerita wayang digambarkan bahwasanya Resi
Manukmanasa dan Bengawan Sakutrem bisa pergi ketempat suci melalui cahaya suci.
- Raksasa Rukmuka dan Rukmakala
Di hutan, Bima diserang oleh dua
raksasa yaitu Rukmuka dan Rukmala. Dalam pertempuran yang hebat Bima berhasil
membunuh keduanya, ini berarti Bima berhasil menyingkirkan halangan untuk
mencapai tujuan supaya samadinya berhasil.
Rukmuka : Ruk berarti rusak, ini
melambangkan hambatan yang berasal dari kemewahan makanan yang enak (kemukten).
Rukmakala : Rukma berarti emas, kala
adalha bahaya, menggambarkan halangan yang datang dari kemewahan kekayaan
material antara lain: pakaian, perhiasan seperti emas permata dan lain-lain
(kamulyan)
Bima tidak akan mungkin melaksanakan
samadinya dengan sempurna yang ditujukan kepada kesucian apabila pikirannya
masih dipenuhi oleh kamukten dan kamulyan dalam kehidupan, karena kamukten dan
kamulyan akan menutupi ciptanya yang jernih, terbunuhnya dua raksasa tersebut
dengan gamblang menjelaskan bahwa Bima bisa menghapus halangan-halangan
tersebut.
- Samudra dan Ular
Bima akhirnya tahu bahwa air suci itu
tidak ada di hutan , tetapi sebenarnya berada didasar samudra. Tanpa ragu-ragu
sedikitpun dia menuju ke samudra. Ingatlah kepada perkataan Samudra Pangaksama
yang berarti orang yang baik semestinya memiliki hati seperti luasnya samudra,
yang dengan mudah akan memaafkan kesalahan orang lain.
Ular adalah simbol dari kejahatan. Bima
membunuh ular tersebut dalam satu pertarungan yang seru. Disini menggambarkan
bahwa dalam pencarian untuk mendapatkan kenyataan sejati, tidaklah cukup bagi
Bima hanya mengesampingkan kamukten dan kamulyan, dia harus juga menghilangkan
kejahatan didalam hatinya. Untuk itu dia harus mempunyai sifat-sifat sebagai
berikut:
1.Rila: dia tidak susah apabila
kekayaannya berkurang dan tidak iri kepada orang lain.
2. Legawa : harus selalu bersikap baik
dan benar.
3. Nrima : bersyukur menerima jalan hidup dengan sadar.
4. Anoraga : rendah hati, dan apabila ada orang yang berbuat
jahat kepadanya, dia tidak akan membalas, tetap sabar.
5. Eling : tahu mana yang benar dan salah dan selalu akan
berpihak kepada kebaikan dan kebenaran.
6. Santosa : selalu beraa dijalan yang benar, tidak pernah
berhenti untuk berbuat yang benar antara lain : melakukan samadi. Selalu
waspada untuk menghindari perbuatan jahat.
7. Gembira : bukan berarti senang karena bisa melaksanakan
kehendak atau napsunya, tetapi merasa tentram melupakan kekecewaan dari pada
kesalahan-kesalahan dari kerugian yang terjadi pada masa lalu.
8. Rahayu : kehendak untuk selalu berbuat baik demi
kepentingan semua pihak.
9. Wilujengan : menjaga kesehatan, kalau sakit diobati.
10. Marsudi kawruh : selalu mencari dan mempelajari ilmu yang
benar.
11. Samadi.
12. Ngurang-ngurangi: dengan antara
lain makan pada waktu sudah lapar, makan tidak perlu banyak dan tidak harus
memilih makanan yang enak-enak: minum secukupnya pada waktu sudah haus dan
tidak perlu harus memilih minuman yang lezat; tidur pada waktu sudah mengantuk
dan tidak perlu harus tidur dikasur yang tebal dan nyaman; tidak boleh terlalu
sering bercinta dan itu pun hanya boleh dilakukan dengan pasangannya yang sah. Pertemuan
dengan Dewa Suksma RuciSesudah Bima mebunuh ular dengan menggunakan kuku
Pancanaka, Bima bertemu dengan Dewa kecil yaitu Dewa Suksma Ruci yang rupanya
persis seperti dia. Bima memasuki raga Dewa Suksma Ruci melalui telinganya yang
sebelah kiri. Didalam, Bima bisa melihat dengan jelas seluruh jagad dan juga
melihat dewa kecil tersebut.
Pelajaran spiritual dari pertemuan ini adalah :
- Bima bermeditasi dengan benar, menutup kedua matanya,
mengatur pernapasannya, memusatkan perhatiannya dengan cipta hening dan rasa
hening.
- Kedatangan dari dewa Suksma Ruci adalah pertanda suci,
diterimanya samadi Bima yaitu bersatunya kawula dan Gusti.
Didalam paningal (pandangan didalam) Bima bisa melihat
segalanya segalanya terbuka untuknya (Tinarbuka) jelas dan tidak ada rahasia
lagi. Bima telah menerima pelajaran terpenting dalam hidupnya yaitu bahwa dalam
dirinya yang terdalam, dia adalah satu dengan yang suci, tak terpisahkan. Dia
telah mencapai kasunyatan sejati. Pengalaman ini dalam istilah spiritual
disebut “mati dalam hidup” dan juga disebut “hidup dalam mati”. Bima tidak
pernah merasakan kebahagiaan seperti ini sebelumnya. Mula-mula di tidak mau
pergi tetapi kemudian dia sadar bahwa dia harus tetap melaksanakan pekerjaan
dan kewajibannya, ketemu keluarganya dan lain-lain.
Arti simbolis pakaian dan perhiasan
Bima
Bima mengenakan pakaian dan perhiasan
yang dipakai oleh orang yang telah mencapai kasunytan-kenyataan sejati. Gelang
Candrakirana dikenakan pada lengan kiri dan kanannya. Candra artinya bulan,
kirana artinya sinar. Bima yang sudah tinarbuka, sudah menguasai sinar suci
yang terang yang terdapat didalam paningal.
Batik poleng : kain batik yang
mempunyai 4 warna yaitu; merah, hitam, kuning dan putih. Yang merupakan simbol
nafsu, amarah, alumah, supiah dan mutmainah. Disini menggambarkan bahwa Bima
sudah mampu untuk mengendalikan nafsunya.
Tusuk konde besar dari kayu asem
Kata asem menunjukkan sengsem artinya
tertarik, Bima hanya tertarik kepada laku untuk kesempurnaan hidup, dia tidak
tertarik kepada kekeyaan duniawi.
Tanda emas diantara mata.
Artiya Bima melaksanakan samadinya
secara teratur dan mantap.
Kuku Pancanaka
Bima mengepalkan tinjunya dari kedua
tangannya.
Melambangkan :
1. Dia telah memegang dengan kuat ilmu
sejati.
2. Persatuan orang-orang yang bermoral
baik adalah lebih kuat, dari persatuan orang-orang yang tidak bertanggung
jawab, meskipun jumlah orang yang bermoral baik itu kalah banyak.
Contohnya lima pandawa bisa mengalahkan
seratus korawa. Kuku pancanaka menunjukkan magis dan wibawa seseorang yang
telah mencapai ilmu sejati.