Menurut para Sufi, demikian juga
kebanyakan orang beriman, daya-penyembuhan itu milik Allah. Ia (healing)
diturunkan ke dunia melalui lorong sebab (kausalitas) yang
bermacam-macam. Diantaranya adalah Kausalitas Supranatural yang
dikaruniakan Tuhan bagi kaum Sufi.
Selengkapnya klasifikasi kausalitas sebagai berikut:
KAUSALITAS
(1) Natural ___(2) Supranatural (1) Logis____(2) Magis (1) Vertikal___(2) Horisontal |
Jelasnya kausalitas yang telah kita
ketahui ada dua, yaitu: Kausalitas Supranatural dan Kausalitas Natural.
Kausalitas Natural juga terdiri dari dua macam, yaitu: Kausalitas Magis
dan Kausalitas Logis. Dan Kausalitas Logis terdiri dari dua macam pula,
yaitu: Kausalitas Horisontal dan Kausalitas Vertikal.
Jika Kausalitas Supranatural
difasilitaskan buat para Sufi, Kausalitas Natural diamanatkan buat para
ahli yang lain. Misalnya Kausalitas Magis bagi para penyihir,
paranormal, dukun, dan sebagainya. Kausalitas Logis Horisontal
diamanatkan kepada para dokter, apoteker, akupunktur, dan tabib-tabib
tradisional. Sedangkan Kausalitas Logis Vertikal dipercayakan kepada
para psikiater atau dokter jiwa.
KAUSALITAS SUPRANATURAL
Tidak sebagaimana diduga oleh kebanyakan
orang bahwa penguasaan Kausalitas Supranatural bisa dilatih lewat
seperangkat riadloh (exercise) seperti penguasaan Kausalitas Magis, atau
dengan sebuah teori lewat eksperimen-eksperimen pada objek natur
seperti penguasaan Kausalitas Logis, karena fasilitas tersebut merupakan
karunia Ilahi kepada hamba-Nya yang telah jauh menempuh proses
pengabdian dengan segala resiko eksistensialnya. Proses pengabdian
kepada Yang Maha Sempurna memiliki nilai ganda ke luar maupun ke dalam,
yang mengisyaratkan telah berlangsungnya transformasi kesadaran lewat
momen-momen transendensi dan imanensi selama dalam proses.
TRANSFORMASI KESADARAN LEWAT TRANSENDENSI DAN IMANENSI
Untuk masuk ke dalam mekanisme tersebut,
kita membutuhkan empat tahap transformasi kesadaran dengan berteladan
pada uswah yang terpuji yaitu Rasulullah SAW. Dua tahap yang pertama
bersifat Eksistensial dan dua tahap berikutnya bersifat Esensial.
- Tahap transformasi yang pertama adalah untuk mencapai kesadaran jagad-raya
yang dengannya kita mendapatkan hak berada di tengah alam semesta.
Untuk itu kita perlu mengenakan jubah kebesaran yang dikenakan
oleh setiap warga alam, yang berupa sifat Ikhlas
menjadi dirinya sendiri dengan segala muatan (hak) dan beban
(kewajiban) yang telah ditentukan. Jika tidak, kita akan menjadi
sengsara hidup di dalamnya.
Langkah pertama adalah mencari hingga menemukan identitas diri kita yang paling final, yaitu sebagai hamba Allah. Untuk menumbuhkan kesadaran tersebut, kita membutuhkan penghayatan sebagai hamba yang berupa Shalat.
Setelah sifat ikhlas terkondisi di dalam diri, semua persaksian kita tentang kenyataan akan sama dengan persaksian setiap warga alam yang lain, yaitu jujur (Siddiq). - Tahap transformasi yang kedua adalah untuk mencapai kesadaran umat (sosial), supaya kita mendapatkan hak di tengah ummat sebagai warganya. Untuk itu kita perlu melakukan kebaktian sosial (Al-Bir) dengan menunaikan Zakat, infaq, dan shodaqoh. Pengamalannya akan mengangkat nilai keberadaan diri kita di tengah lingkung umat, dan puncaknya adalah tumbuhnya kesadaran bahwa semua milik yang ada hanyalah titipan Allah (Amanah).
- Tahap transformasi yang ketiga adalah untuk mendapatkan kemampuan atau potensi ilahi (Qodratullah) dengan Bertaqwa kepadaNya. Untuk itu kita butuh menunaikan ibadah Puasa.
Dengan demikian kita akan mendapatkan potensi-ekstra dari Robbul-’alamin , sebagai supporting-power yang mampu menguakkan terobosan (makhrojan) buat semua stagnasi. Kebahagiaan spiritual yang kita rasakan dari perolehan tersebut membuat kita perlu menyampaikannya kepada pihak lain supaya dapat ikut serta menghayatinya (Tabligh). - Tahap transformasi keempat adalah untuk menundukkan iradah
insaniah kita di bawah iradah Allah (Iradatullah) dengan menunaikan
apapun yang diperintahkanNya tanpa komentar (Tawakkal).
Meskipun di dalam menunaikannya kita harus meninggalkan semua yang
kita cintai, seperti keluarga, tanah air, segala fungsi dan peran
kita di tengah lingkungan dengan ibadah Haji.
Lenyapnya kehendak insani di dalam Amr (Perintah) Illahi mengantarkan kita pada kenyataan baru di dalam diri kita, sehingga apa yang kita amalkan pasti akan terwujud,karena bukan kita yang melakukannya melainkan Allah-lah pelakunya (Fathonah).
Kesimpulannya, sifat-sifat Siddiq,
Amanah, Tabligh, dan Fathonah tidak hanya wajib bagi Rasul melainkan
sifat-sifat yang harus diteladani oleh pengikutnya.
Ringkasan proses transformasi diri lewat Transendensi dan Imanensi sebagai berikut:
Dimensi Eksistensial:
- Orientasi Perbuatan (Af’al):
- Ikhlas – menemukan diri di dalam alam (transendensi)
- Siddiq – menemukan alam di dalam diri (imanensi)
- Orientasi Nama (Asma):
- Al-Bir – menemukan diri di dalam masyarakat (transendensi)
- Amanah – menemukan masyarakat di dalam diri (imanensi)
Dimensi Esensial:
- Orientasi Sifat:
- Taqwa – menemukan diri di dalam qodrat Allah (transendensi)
- Tabligh – menemukan qodrat Allah di dalam diri (imanensi)
- Orientasi Zat:
- Tawakkal – menemukan diri di dalam iradah Allah (transendensi)
- Fathonah – menemukan iradah Allah di dalam diri (imanensi)
Healing bagi para Sufi bukan ilmu, skill, power diri, ataupun tujuan, melainkan melaksanakan Amr Allah.
Perjuangan Sufi di dalam menghayati
revolusi diri hingga mencapai maqom Wahdah (Unity) ditanggapi oleh Allah
dengan mengaruniakan kepadanya sebuah mekanisme yang lain (Kausalitas
Supranatural), yang dengannya ia dapat menggapai maqom Jam’iyah
(Universality), sehingga keberadaannya di dunia tidak hanya bermanfaat
bagi diri sendiri, melainkan berguna bagi semua.
Risalah singkat ini merupakan bagian dari
konsep kesufian yang saya tegakkan di atas landasan syari’at Islam yang
tak dapat digoyahkan, namun dapat digali sedalam-dalamnya tanpa merusak
sendi-sendinya. Karena bagi saya tasawuf adalah Islam itu sendiri,
dalam dimensinya yang tingg
Tidak ada komentar:
Posting Komentar